Telaga Paca yaitu salah satu Objek Wisata di Wilayah Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Telaga Paca memperlihatkan panorama alam yang indah, asri dan tenang. Lokasi telaga dengan latar belakang gunung dan bebukitan serta dikelilingi hutan rindang mengakibatkan tempat ini sebagai tempat rekreasi alam bebas yang menyenangkan.
Telaga ini yaitu tempat yang cocok sekali untuk kita yang ingin melepaskan kepenatan. Air telaga yang hening menciptakan aktivitas berperahu dan memancing di tempat ini sangat disarankan. Apabila anda tiba berkunjung ke tempat ini, berdirilah di atas tebing telaga untuk mendapat pemandangan sekitar telaga yang menarik.
Di sekitar Telaga tidak terdapat rumah makan. Namun, penduduk sekitar Telaga Paca telah menyediakan pondok makan terapung untuk para wisatawan yang berkunjung untuk menikmati suasana alam di daerah danau.
Lokasi Telaga Paca
Telaga Paca berada di desa Telaga Paca yang jaraknya sekitar 25 Km di selatan kota Tobelo. Untuk ke telaga ini, anda juga sanggup memakai kendaraan umum yakni mikrolet tujuan Kao dari terminal Wosia kemudian turun di pertigaan saluran desa Telaga Paca. Lanjutkan dengan ojek ke lokasi telaga ini sekitar 1 Km.
Cerita Rakyat Telaga Paca
Sumber: Foto Benisius Anu |
Menurut legenda orang setempat, telaga Paca terjadi melalui suatu proses yang cukup menarik. Pada mulanya, ada seorang gadis yang tinggal di gubuk di tengah hutan bersama beberapa keluarga lain. Jarak rumah mereka saling berjauhan satu dengan yang lain. Sekarang letaknya kira-kira di sebelah barat Desa Paca.
Pada suatu hari, secara tiba-tiba terdengar oleh gadis itu bunyi yang memanggilnya, "Halo, teman! Siapakah namamu?" Sang gadis menjawab "Nama saya yaitu Memeua".
Tiba-tiba Memeua bertanya dalam hatinya, "Siapakan gerangan orang ini?! Sudah sekian usang saya hidup di sini, namun tak seorang lelaki pun yang pernah mendatangi rumah saya". Pria muda itu mendekati sang gadis sambil mengulurkan tangannya dan berkata, "Maaf, ijinkanlah saya memperkenalkan diri kepada dinda. Nama saya Kobubu, berasal dari suku Galela".
Setelah perkenalan itu, mereka menjadi sahabat yang akrab. Bahkan selanjutnya mereka menjadi saling menyayangi. Walaupun demikian, hubungan mereka ini masih dilakukan secara diam-diam, di mana Kobubu mendatangi gadis ini pada waktu-waktu tertentu. Lama-kelamaan, keduanya berkeinginan untuk menikah biar hubungan mereka tidak lagi secara rahasia dan tersembunyi.
Mengingat hari janji nikah mereka sudah dekat, maka Kobubu meminta izin kepada Memeua untuk kembali sebentar ke kampung halamannya. Memeua melepaskan Kobubu dengan bahagia hati, tetapi Memeua dan orang-orang yang tinggal di tempat itu memberikan suatu permintaan. "Pada waktu kakanda nanti kembali ke sini, tolong bawa air telaga secukupnya yang ada di Galela untuk kita pakai, alasannya di sini sangat susah untuk memperoleh air".
Sewaktu Kobubu kembali dari Galela, beliau tidak lupa membawa pesanan kekasihnya. Dia membawa air satu tipo (seruas bambu). Setiba di gubuk mereka, beliau menyerahkan air itu kepada Memeua. Air itu sebagian dituangkannya di belanga sebagian lagi dituangkannya ke dalam tanah yang sudah digali dan ditutupi dengan tempurung.
Keesokan harinya tempurung itu sudah terapung di atas permukaan air. Untuk menghindari kotoran yang masuk ke dalam air, maka Memeua menutupnya dengan daun goro-goro (daun talas). Namun keesokan harinya, daun itu pun sudah terapung di atas air. Kembali pada sore hari menjelang malam Memeua menutup air dengan habongo (tapisan beras). Namun terjadi juga hal yang sama. Habongo ini terapung alasannya air semakin membesar. Selanjutnya Memeua menutup air itu dengan tikara (tikar yang terbuat dari daun buho), kemudian Memeua dan Kobubu beristirahat.
Menjelang pagi, tiba-tiba ayam piaraan mereka berkokok yang pertanda bahwa akan terjadi bencana. Memeua dan Kobubu beserta penduduk di situ sangat terkejut dan ketakutan alasannya ternyata air dari tempat Memeua semakin melebar dan siap menenggelamkan daerah itu. Semua orang yang ada di situ berusaha lari untuk menyelamatkan diri.
Memeua dan Kobubu juga lari tetapi ke arah yang berbeda. Si Memeua lari ke arah tenggara, sedangkan si Kobubu lari ke arah barat laut. Air pun terus mengejar mereka masing-masing, sehingga kesudahannya mereka kehabisan tenaga. Karena air ini meluas dengan cepat, kesudahannya Memeua tetapkan untuk mengorbankan diri dengan cara berpegang pada batang pohon torobuku dan melaksanakan proses booteke (proses mistik untuk menyatukan diri dengan pohon). Lalu beliau mengucapkan sebuah kalimat, "Batas air cukup hingga di sini saja dan akan mengalir ke Kali Mawea!". Ternyata air patuh kepada perintah Memeua, sehingga air itu pun berhenti di situ. Hingga dikala ini, kita masih sanggup melihat batang pohon yang menyatu dengan Memeua. Dulu, jikalau dipotong, pohon ini mengeluarkan darah. Akan tetapi, kini tidak lagi.
Begitu juga dengan Kobubu. Dia tidak berdaya mengatasi ekspansi air yang begitu cepat. Oleh alasannya itu, beliau pun tetapkan untuk mengorbankan diri dengan cara menenggelamkan tubuhnya. Tubuh Kobubu menjadi patok atau batas bab barat dari Talaga Paca. Hingga dikala ini, jikalau dari dalam telaga ini timbul gelembung-gelembung air, maka orang menyampaikan bahwa Kobubu sedang mengeluarkan napas.
Kadang-kadang, di tengah-tengah telaga terlihat keluar menyerupai candi, atau gereja, atau pun mesjid, namun kami tidak tahu pasti. Mungkin juga itu yaitu kampung yang telah karam ketika air meluas.
*) Kisah ini diceritakan kembali oleh Junias Ngongadje (Guru SD GMIH Paca) dan dimuat dalam buku kumpulan dongeng rakyat Indonesia.
BERITA LENGKAP DI HALAMAN BERIKUTNYA
Halaman Berikutnya